Bicara Jujur Lewat Iklan

Baru-baru ini jagad dunia hiburan Indonesia dihebohkan dengan claim sepihak seorang sutradara muda yang mengaku bahwa karyanya tembus ajang penghargaan film tertinggi, yaitu Academy Awards. Namun sineas muda tersebut harus menahan malu, lantaran portal berita online Geotimes melakukan ‘investigasi’ mendalam terhadap claim sepihak tersebut. Selanjutnya, seperti yang sudah kita ketahui, apa yang kita dengar dari sutradara “Bali: Beats of Paradise” tersebut hanyalah bualan belaka.

Selalu ada hal yang bisa kita petik dari suatu peristiwa. Dari kasus ini misalnya. Kita bisa belajar bahwa branding dan marketing haruslah berkaca dari keunggulan brand kamu seperti, bukannya didasarkan dari pernyataan yang terlalu melebihkan. Kejujuran adalah hal yang paling krusial dalam dunia pemasaran. Dalam paragraf-paragraf selanjutnya, kita akan sama-sama melihat bahwa berkata jujur lewat iklan adalah hal utama yang mesti menjadi prioritas.

Mengapa begitu? Simak pemaparan berikut, yuk!

False Advertising: Sebuah Jerat yang Memikat Para Owner Brand

Secara umum false advertising atau iklan menyesatkan adalah upaya ‘membohongi’ konsumen tentang benefit yang akan didapatkan dari suatu produk dan/atau tentang kondisi dari produk itu sendiri. Upaya tersebut adalah dengan memberikan informasi yang berisi kebohongan, membuat para konsumen berekspektasi memiliki ekspektasi sesuai dengan yang dijanjikan dalam iklan, sampai dalam tahan konsumen membeli atau membayar produk dan/atau jasa yang ditawarkan suatu brand.

Jika merujuk pada Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, false advertising atau iklan menyesatkan meliputi kegiatan menawarkan, mempromosikan, mengiklankan atau membuat pernyataan yang tidak benar atau menyesatkan mengenai:

  1. harga atau tarif suatu barang dan/atau jasa;
  2. kegunaan suatu barang dan/atau jasa;
  3. kondisi, tanggungan, jaminan, hak atau ganti rugi atas suatu barang dan/atau jasa;
  4. tawaran potongan harga atau hadiah menarik yang ditawarkan;
  5. bahaya penggunaan barang dan/atau jasa.

Untuk lebih memudahkan kamu mengerti terminologi false advertising, kamu bisa cek sendiri dengan menjawab pertanyaan berikut:

Pernah terbuai membeli suatu produk karena iklan yang menarik? Lalu kamu pun berekspektasi tinggi dan lantas membeli produk tersebut. Setelah menggunakan produknya, kamu pun harus menelan kecewa karena nyatanya produk tidak sesuai harapan, bahkan . Padahal kalo liat iklannya, produknya kayaknya ampuh banget dan punya banyak benefit.

Pernah ada dalam posisi seperti ini? Selamat, kamu sudah masuk jerat False Advertising!

Beda False Advertising dengan Puffering

Lalu, apa kabar dengan para owner brand yang gemar menggunakan jasa influencer atau KOL? Kalau liat caption mereka, kayaknya produk yang mereka coba terlihat sangat menggoda, sampai-sampai kata-kata mereka berhasil membuat kita rela beli produk tersebut.

Selain false advertising, dunia marketing juga mengenal terminologi ‘puffering’ atau ‘melebih-lebihkan’. Terminologi tidak akrab di Indonesia, namun jika melansir dari artikel Huffpost.com dengan judul “Puffering or False Advertising”, setidaknya ada beberapa yang dapat digolongkan sebagai puffering:

  1. Pernyataan yang didasarkan survei, data ilmiah, dan/atau data statistik, meski survei dan data ilmiah tersebut tidak jelas asalnya dari mana;
  2. Pernyataan yang menipu. Semisal suatu brand menyatakan produknya berasal dari suatu tempat, padahal nyatanya tidak;
  3. Pernyataan yang bernada membandingkan, padahal perbandingan tersebut tidak jelas dan tidak spesifik, malah terdengar mengada-ngada;
  4. Pernyataan yang melebih-lebihkan kualitas dan hasil yang didapat dari pemakaian produk, padahal pernyataan tersebut tidak didasarkan pengalaman nyata/penyataan bohong;
  5. Hasil suntingan foto yang terlalu berlebihan, sehingga terkesan tidak normal.

Lalu, apakah melebih-lebihkan dapat dikategorisasikan sebagai bagian dari iklan menyesatkan? Apakah lantas sebagai konsumen bisa menyalahkan endorser atau KOL yang gemar mengiklankan dengan nada berlebihan? Akan sulit untuk membuktikan apakan hal tersebut tergolong false advertising, karena pada dasarnya setiap pribadi berhak memberikan opininya. Hal yang sama berlaku pada endorser atau KOL yang dimintakan jasanya untuk mengiklankan suatu produk. Namun, sepanjang iklan tersebut memang termasuk dalam kategori iklan menyesatkan sesuai dengan yang diatur dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen, maka kamu bisa menuntut brand yang dimaksud. Kembali merujuk ke undang-undang yang sama, Pasal 4 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 memberikan hak kepada konsumen atas hal tersebut.

Sebagai contoh nyata, kita dapat berkaca dari kasus iklan Nissan March yang harus diselesaikan melalui meja hijau. Pada tahun 2012, Ludmilla Arief menuntut PT Nissan Motor Indonesia karena mobil kualitas Nissan March yang dibeli tidak sesuai dengan iklan. Melalui iklannya, Nissan Indonesia menjanjikan mobil Nissan March-nya irit bahan bakar.

Kasus ini berlanjut sampai Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK), melalui perjalanan panjang, BPSK menyatakan Nissan Indonesia melanggar Undang-Undang Perlindungan Konsumen dan membayar kompensasi sebesar Rp150 juta.

Artikel ini diolah dari berbagai artikel:

https://tirto.id/omong-kosong-citra-hollywood-livi-zheng-eg6x

https://www.jawapos.com/kesehatan/health-issues/20/09/2017/berkaca-iklan-susu-kental-manis-ylki-ada-misleading-informasi/

https://www.huffpost.com

https://www.hukumonline.com/berita/baca/lt4f8503fecc5fb/kasus-iklan-nissan-march-masuk-pengadilan/

https://www.businessinsider.com/false-advertising-scandals-2016-3?IR=T

Dini Octavia A.

Dini Octavia A.

Leave a Replay

About Us

We are Inhands Agency, a fast-growing digital agency based in Jakarta. We called ourself as a brands’ advocate. We help brands go digital and create a meaningful digital experience journey to clients.

Recent Posts

Youtube

Instagram

Tik Tok

Hubungi via WA
Halo, ada yang bisa kami bantu? 😁😁
~ CS Inhands Agency